Indonesia masih menduduki peringkat pertama negara dengan kualitas udara terburuk se-Asia Tenggara berdasarkan laporan World Air Quality (IQAir) 2022.
Indonesia mempertahankan posisi itu dari tahun sebelumnya meski angka polusi udara rata-rata hariannya terukur telah menurun dari 34,3 menjadi 30,4 mikrogram per meter kubik–diukur dari konsentrasi partikel debu halus (PM 2,5).
Penurunan juga terukur untuk lingkup ibu kota DKI Jakarta yang pada 2022 mencatatkan polusi PM 2,5 harian sebesar 36,2 mikrogram per meter kubik, atau turun 7 persen dibandingkan 2021.
Penurunan itu membuat Indonesia kini berada di posisi ke-26 dalam daftar negara dengan udaranya yang paling berpolusi di seluruh dunia–lebih baik 9 tingkat daripada tahun sebelumnya.
Ditanya Soal Solusi Pencemaran Udara Jakarta, Heru Budi Guyon: Saya Tiup Meski begitu, tingkat polusi di Indonesia pada 2022 tetap tergolong buruk.
Angka konsentrasi PM 2,5 yang 34,3 mikrogram per meter kubik masih enam hingga tujuh kali lipat lebih tinggi daripada standar yang ditetapkan WHO.
Badan Kesehatan Dunia telah meninggikan standar atau nilai ambang karena semakin besar angka kematian dini dan hilangnya tahun kehidupan yang lebih sehat di dunia karena polusi udara.
Adapun PM 2,5 umumnya diterima sebagai polutan yang paling berbahaya.
Pantauan secara luas, polutan udara ini telah ditemukan menjadi faktor utama yang berkontribusi terhadap efek kesehatan manusia seperti asma, stroke, penyakit jantung, dan paru-paru.
Dengan kondisi kualitas udara yang masih buruk itu, Bondan Andriyanu, juru kampanye Greenpeace Indonesia, mengingatkan bahwa gugatan warga negara atas polusi udara juga masih menemui jalan buntu.
Dia merujuk kepada perkara gugatan warga negara yang tergabung dalam Koalisi Ibu kota terkait polusi udara Jakarta.
5 Negara Penghasil Polusi Udara Tertinggi Di Dunia Presiden RI dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan disebutkannya malah mengajukan upaya kasasi setelah banding mereka ditolak Pengadilan Tinggi pada November 2022.
“Itu mengindikasikan arogansi dan sikap abai pemerintah terhadap hak rakyat atas udara bersih,” kata Bondan dalam keterangan tertulis.
Untuk laporan survei terkininya, CEO Global IQAir, Frank Hammes, juga mengungkap adanya pergeseran kesadaran dan upaya bersama warga untuk meningkatkan kualitas udara.
Tandanya, lebih dari separuh data pemantauan kualitas udara kota-kota di dunia yang dikumpulkan justru disumbang oleh komunitas akar rumput.
“Pemantauan kualitas udara oleh masyarakat menciptakan transparansi dan urgensi.
Ini mengarah pada tindakan kolaboratif untuk meningkatkan kualitas udara,” kata Frank.
Pilihan Editor: Sebuah Planet di Luar Tata Surya Diduga sedang Berubah Menjadi Planet Air